Oleh : Dr. Fikri, S.Ag., M.HI
(Dosen IAIN Pareparel)
Permasalahan krusial dalam tulisan ini mengidentifikasi isu-isu gender dan hak-hak anak pasca perceraian, khususnya mengenai distorsi keadilan dalam peran orang tua tunggal (terutama ibu) dalam memenuhi hak-hak anak. Beberapa permasalahan krusial yang dimaksud sebagai berikut:
Eksploitasi Peran Orang Tua Tunggal (Ibu) Pasca Perceraian: Dalam banyak kasus perceraian, beban memenuhi hak-hak anak (seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan emosional) lebih sering jauh pada ibu sebagai orang tua tunggal. Meskipun pengadilan menyatakan bahwa kedua orang tua harus bekerja sama dalam mendukung anak, realitanya banyak ayah yang tidak menjalankan tanggung jawab ini. Ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap peran ibu.
Distorsi Keadilan Gender: Ibu sering kali harus menjalankan peran ganda sebagai ayah dan ibu tanpa dukungan yang memadai dari mantan suami. Ketidakseimbangan tanggung jawab ini dianggap sebagai distorsi keadilan gender, karena ibu dibebani lebih banyak tugas dalam membesarkan anak pasca perceraian.
Hak Anak yang Tidak Terpenuhi: Setelah perceraian, hak-hak anak seperti perhatian emosional, dukungan finansial, pendidikan, dan kesehatan sering kali terabaikan. Ketika ayah tidak menjalankan kewajibannya, anak-anak cenderung menderita secara emosional dan finansial, yang menimbulkan masalah jangka panjang bagi kesejahteraan mereka.
Penegakan Hukum yang Lemah: Meskipun ada keputusan pengadilan tentang pembagian tanggung jawab antara mantan suami dan istri, implementasinya lemah. Mantan suami sering kali tidak memenuhi kewajibannya, dan mantan istri harus mengambil alih seluruh beban.
Hal penting menjadi fokus kita bersama mengenai eksploitasi peran orang tua tunggal (Ibu) pasca perceraian adalah dijumpai dengan permasalahan kunci seperti Ketimpangan Tanggung Jawab bahwa setelah perceraian, sering kali terjadi ketimpangan tanggung jawab antara mantan suami dan istri dalam pengasuhan anak.
Meskipun secara hukum kedua orang tua diwajibkan untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan anak, dalam praktiknya, beban ini lebih banyak ditanggung oleh mantan istri. Ibu yang menjadi orang tua tunggal harus berjuang sendirian untuk menyediakan kebutuhan dasar anak, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari. Ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan ini, karena ayah cenderung mengabaikan tanggung jawab finansial dan emosional mereka.
Di sini, eksploitasi muncul karena ibu harus memainkan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Selanjutnya, Kurangnya Keterlibatan Ayah bahwa meskipun keputusan pengadilan sering kali mewajibkan ayah untuk berkontribusi pada pemeliharaan anak, keterlibatan mereka sering kali minim atau bahkan tidak ada.
Ayah bisa menghindari tanggung jawab finansial, emosional, dan fisik terhadap anak-anak mereka, yang meninggalkan ibu dengan beban yang lebih berat. Kemudian, Pengaruh pada Kesejahteraan Anak bahwa beban yang tidak seimbang ini berdampak langsung pada kesejahteraan anak.
Ketika ibu harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, waktu dan energi yang dapat diberikan kepada anak menjadi terbatas. Anak-anak mungkin merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan kasih sayang, yang dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis jangka Panjang.
Anak-anak dari keluarga pasca perceraian sering kali mengalami ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya keterlibatan kedua orang tua. Selain itu, biasanya Dampak Sosial dan Budaya bahwa menjadi ibu tunggal sering kali dihadapkan pada stigma sosial. Banyak masyarakat yang memandang negatif status ibu tunggal, yang memperburuk situasi mereka. Ibu tidak hanya harus berjuang dengan beban ganda secara finansial dan emosional, tetapi juga menghadapi pandangan masyarakat yang tidak mendukung.
Hak Anak yang Tidak Terpenuhi, menunjukkan bagaimana hak-hak anak pasca perceraian sering kali
Kebutuhan Dasar Anak yang Sering Terabaikan.
Setelah perceraian, anak-anak memiliki hak yang fundamental untuk menerima perhatian penuh, baik dari ayah maupun ibu. Hak-hak ini mencakup pendidikan, perawatan kesehatan, kebutuhan emosional, dan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Namun, dalam banyak kasus, hak-hak dasar ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya karena salah satu atau bahkan kedua orang tua tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Dampak Negatif pada Perkembangan Emosional dan Psikologis Anak
Selain kebutuhan materi, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan perhatian emosional dan kasih sayang dari kedua orang tua. Setelah perceraian, anak-anak sering kali mengalami gangguan emosional akibat berkurangnya interaksi dengan salah satu orang tua, terutama jika ayah tidak terlibat. Ketidakstabilan emosional ini dapat mengakibatkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, atau bahkan gangguan perilaku.
Keterbatasan Finansial Ibu dalam Memenuhi Hak Anak
In many cases, mothers who become single parents face significant financial limitations. As the sole caregiver, mothers often have to work harder to meet the child’s needs, but their income is often insufficient to cover all necessary expenses. The cost of education, health care, and daily living expenses become a very heavy burden if borne alone without financial support from the father.
Dalam banyak kasus, ibu yang menjadi single parent menghadapi keterbatasan finansial yang signifikan. Sebagai orang tua tunggal, ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak, namun penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk menutupi semua biaya yang diperlukan. Biaya pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi beban yang sangat berat jika harus dipikul sendirian tanpa dukungan finansial dari ayah.Hal penting menjadi fokus kita bersama mengenai eksploitasi peran orang tua tunggal (Ibu) pasca perceraian adalah dijumpai dengan permasalahan kunci seperti Ketimpangan Tanggung Jawab bahwa setelah perceraian, sering kali terjadi ketimpangan tanggung jawab antara mantan suami dan istri dalam pengasuhan anak.
Meskipun secara hukum kedua orang tua diwajibkan untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan anak, dalam praktiknya, beban ini lebih banyak ditanggung oleh mantan istri. Ibu yang menjadi orang tua tunggal harus berjuang sendirian untuk menyediakan kebutuhan dasar anak, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari. Ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan ini, karena ayah cenderung mengabaikan tanggung jawab finansial dan emosional mereka.
Di sini, eksploitasi muncul karena ibu harus memainkan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Selanjutnya, Kurangnya Keterlibatan Ayah bahwa meskipun keputusan pengadilan sering kali mewajibkan ayah untuk berkontribusi pada pemeliharaan anak, keterlibatan mereka sering kali minim atau bahkan tidak ada.
Ayah bisa menghindari tanggung jawab finansial, emosional, dan fisik terhadap anak-anak mereka, yang meninggalkan ibu dengan beban yang lebih berat. Kemudian, Pengaruh pada Kesejahteraan Anak bahwa beban yang tidak seimbang ini berdampak langsung pada kesejahteraan anak.
Ketika ibu harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, waktu dan energi yang dapat diberikan kepada anak menjadi terbatas. Anak-anak mungkin merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan kasih sayang, yang dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis jangka Panjang.
Anak-anak dari keluarga pasca perceraian sering kali mengalami ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya keterlibatan kedua orang tua. Selain itu, biasanya Dampak Sosial dan Budaya bahwa menjadi ibu tunggal sering kali dihadapkan pada stigma sosial. Banyak masyarakat yang memandang negatif status ibu tunggal, yang memperburuk situasi mereka. Ibu tidak hanya harus berjuang dengan beban ganda secara finansial dan emosional, tetapi juga menghadapi pandangan masyarakat yang tidak mendukung.
Hak Anak yang Tidak Terpenuhi, menunjukkan bagaimana hak-hak anak pasca perceraian sering kali Kebutuhan Dasar Anak yang Sering Terabaikan.
Setelah perceraian, anak-anak memiliki hak yang fundamental untuk menerima perhatian penuh, baik dari ayah maupun ibu. Hak-hak ini mencakup pendidikan, perawatan kesehatan, kebutuhan emosional, dan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Namun, dalam banyak kasus, hak-hak dasar ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya karena salah satu atau bahkan kedua orang tua tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Dampak Negatif pada Perkembangan Emosional dan Psikologis Anak
Selain kebutuhan materi, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan perhatian emosional dan kasih sayang dari kedua orang tua. Setelah perceraian, anak-anak sering kali mengalami gangguan emosional akibat berkurangnya interaksi dengan salah satu orang tua, terutama jika ayah tidak terlibat. Ketidakstabilan emosional ini dapat mengakibatkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, atau bahkan gangguan perilaku.
Keterbatasan Finansial Ibu dalam Memenuhi Hak Anak
In many cases, mothers who become single parents face significant financial limitations. As the sole caregiver, mothers often have to work harder to meet the child’s needs, but their income is often insufficient to cover all necessary expenses. The cost of education, health care, and daily living expenses become a very heavy burden if borne alone without financial support from the father.
Dalam banyak kasus, ibu yang menjadi single parent menghadapi keterbatasan finansial yang signifikan. Sebagai orang tua tunggal, ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak, namun penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk menutupi semua biaya yang diperlukan. Biaya pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi beban yang sangat berat jika harus dipikul sendirian tanpa dukungan finansial dari ayah.
Hal penting menjadi fokus kita bersama mengenai eksploitasi peran orang tua tunggal (Ibu) pasca perceraian adalah dijumpai dengan permasalahan kunci seperti Ketimpangan Tanggung Jawab bahwa setelah perceraian, sering kali terjadi ketimpangan tanggung jawab antara mantan suami dan istri dalam pengasuhan anak.
Meskipun secara hukum kedua orang tua diwajibkan untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan anak, dalam praktiknya, beban ini lebih banyak ditanggung oleh mantan istri. Ibu yang menjadi orang tua tunggal harus berjuang sendirian untuk menyediakan kebutuhan dasar anak, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari. Ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan ini, karena ayah cenderung mengabaikan tanggung jawab finansial dan emosional mereka.
Di sini, eksploitasi muncul karena ibu harus memainkan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Selanjutnya, Kurangnya Keterlibatan Ayah bahwa meskipun keputusan pengadilan sering kali mewajibkan ayah untuk berkontribusi pada pemeliharaan anak, keterlibatan mereka sering kali minim atau bahkan tidak ada.
Ayah bisa menghindari tanggung jawab finansial, emosional, dan fisik terhadap anak-anak mereka, yang meninggalkan ibu dengan beban yang lebih berat. Kemudian, Pengaruh pada Kesejahteraan Anak bahwa beban yang tidak seimbang ini berdampak langsung pada kesejahteraan anak.
Ketika ibu harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, waktu dan energi yang dapat diberikan kepada anak menjadi terbatas. Anak-anak mungkin merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan kasih sayang, yang dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis jangka Panjang.
Anak-anak dari keluarga pasca perceraian sering kali mengalami ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya keterlibatan kedua orang tua. Selain itu, biasanya Dampak Sosial dan Budaya bahwa menjadi ibu tunggal sering kali dihadapkan pada stigma sosial. Banyak masyarakat yang memandang negatif status ibu tunggal, yang memperburuk situasi mereka. Ibu tidak hanya harus berjuang dengan beban ganda secara finansial dan emosional, tetapi juga menghadapi pandangan masyarakat yang tidak mendukung.
Hak Anak yang Tidak Terpenuhi, menunjukkan bagaimana hak-hak anak pasca perceraian sering kali Kebutuhan Dasar Anak yang Sering Terabaikan.
Setelah perceraian, anak-anak memiliki hak yang fundamental untuk menerima perhatian penuh, baik dari ayah maupun ibu. Hak-hak ini mencakup pendidikan, perawatan kesehatan, kebutuhan emosional, dan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Namun, dalam banyak kasus, hak-hak dasar ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya karena salah satu atau bahkan kedua orang tua tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Dampak Negatif pada Perkembangan Emosional dan Psikologis Anak
Selain kebutuhan materi, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan perhatian emosional dan kasih sayang dari kedua orang tua. Setelah perceraian, anak-anak sering kali mengalami gangguan emosional akibat berkurangnya interaksi dengan salah satu orang tua, terutama jika ayah tidak terlibat. Ketidakstabilan emosional ini dapat mengakibatkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, atau bahkan gangguan perilaku.
Keterbatasan Finansial Ibu dalam Memenuhi Hak Anak
In many cases, mothers who become single parents face significant financial limitations. As the sole caregiver, mothers often have to work harder to meet the child’s needs, but their income is often insufficient to cover all necessary expenses. The cost of education, health care, and daily living expenses become a very heavy burden if borne alone without financial support from the father.
Dalam banyak kasus, ibu yang menjadi single parent menghadapi keterbatasan finansial yang signifikan. Sebagai orang tua tunggal, ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak, namun penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk menutupi semua biaya yang diperlukan. Biaya pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi beban yang sangat berat jika harus dipikul sendirian tanpa dukungan finansial dari ayah.Hal penting menjadi fokus kita bersama mengenai eksploitasi peran orang tua tunggal (Ibu) pasca perceraian adalah dijumpai dengan permasalahan kunci seperti Ketimpangan Tanggung Jawab bahwa setelah perceraian, sering kali terjadi ketimpangan tanggung jawab antara mantan suami dan istri dalam pengasuhan anak.
Meskipun secara hukum kedua orang tua diwajibkan untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan anak, dalam praktiknya, beban ini lebih banyak ditanggung oleh mantan istri. Ibu yang menjadi orang tua tunggal harus berjuang sendirian untuk menyediakan kebutuhan dasar anak, seperti pendidikan, perawatan kesehatan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari. Ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan ini, karena ayah cenderung mengabaikan tanggung jawab finansial dan emosional mereka.
Di sini, eksploitasi muncul karena ibu harus memainkan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh utama. Selanjutnya, Kurangnya Keterlibatan Ayah bahwa meskipun keputusan pengadilan sering kali mewajibkan ayah untuk berkontribusi pada pemeliharaan anak, keterlibatan mereka sering kali minim atau bahkan tidak ada.
Ayah bisa menghindari tanggung jawab finansial, emosional, dan fisik terhadap anak-anak mereka, yang meninggalkan ibu dengan beban yang lebih berat. Kemudian, Pengaruh pada Kesejahteraan Anak bahwa beban yang tidak seimbang ini berdampak langsung pada kesejahteraan anak.
Ketika ibu harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, waktu dan energi yang dapat diberikan kepada anak menjadi terbatas. Anak-anak mungkin merasa kurang diperhatikan atau kurang mendapatkan kasih sayang, yang dapat menyebabkan masalah emosional dan psikologis jangka Panjang.
Anak-anak dari keluarga pasca perceraian sering kali mengalami ketidakstabilan dalam kehidupan sehari-hari karena kurangnya keterlibatan kedua orang tua. Selain itu, biasanya Dampak Sosial dan Budaya bahwa menjadi ibu tunggal sering kali dihadapkan pada stigma sosial. Banyak masyarakat yang memandang negatif status ibu tunggal, yang memperburuk situasi mereka. Ibu tidak hanya harus berjuang dengan beban ganda secara finansial dan emosional, tetapi juga menghadapi pandangan masyarakat yang tidak mendukung.
Hak Anak yang Tidak Terpenuhi, menunjukkan bagaimana hak-hak anak pasca perceraian sering kali Kebutuhan Dasar Anak yang Sering Terabaikan.
Setelah perceraian, anak-anak memiliki hak yang fundamental untuk menerima perhatian penuh, baik dari ayah maupun ibu. Hak-hak ini mencakup pendidikan, perawatan kesehatan, kebutuhan emosional, dan kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan tempat tinggal. Namun, dalam banyak kasus, hak-hak dasar ini sering kali tidak terpenuhi sepenuhnya karena salah satu atau bahkan kedua orang tua tidak menjalankan kewajibannya dengan baik.
Dampak Negatif pada Perkembangan Emosional dan Psikologis Anak
Selain kebutuhan materi, anak-anak juga memiliki hak untuk mendapatkan perhatian emosional dan kasih sayang dari kedua orang tua. Setelah perceraian, anak-anak sering kali mengalami gangguan emosional akibat berkurangnya interaksi dengan salah satu orang tua, terutama jika ayah tidak terlibat. Ketidakstabilan emosional ini dapat mengakibatkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, atau bahkan gangguan perilaku.
Keterbatasan Finansial Ibu dalam Memenuhi Hak Anak
In many cases, mothers who become single parents face significant financial limitations. As the sole caregiver, mothers often have to work harder to meet the child’s needs, but their income is often insufficient to cover all necessary expenses. The cost of education, health care, and daily living expenses become a very heavy burden if borne alone without financial support from the father.
Dalam banyak kasus, ibu yang menjadi single parent menghadapi keterbatasan finansial yang signifikan. Sebagai orang tua tunggal, ibu sering kali harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak, namun penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk menutupi semua biaya yang diperlukan. Biaya pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi beban yang sangat berat jika harus dipikul sendirian tanpa dukungan finansial dari ayah.
Penegakan Hukum yang Lemah terhadap Hak Anak
Salah satu faktor yang memperparah situasi ini adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pemenuhan hak anak. Meskipun ada keputusan pengadilan yang mewajibkan ayah untuk memberikan nafkah dan mendukung kebutuhan anak, banyak ayah yang tidak menjalankan keputusan ini. Proses hukum untuk menuntut pemenuhan hak anak sering kali memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya, yang menyulitkan ibu untuk menuntut hak-hak anaknya secara efektif. Akibat dari lemahnya penegakan hukum ini, banyak anak yang hak-haknya tidak terpenuhi dengan baik. Mereka kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan dukungan emosional yang seharusnya menjadi tanggung jawab kedua orang tua.
Konsekuensi Jangka Panjang terhadap Kesejahteraan Anak
Ketika hak-hak anak tidak terpenuhi, dampaknya tidak hanya dirasakan secara langsung tetapi juga dapat memiliki konsekuensi jangka panjang bagi kesejahteraan anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak stabil secara emosional dan finansial mungkin mengalami masalah dalam pendidikan mereka, memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku bermasalah, dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat.
Hak anak pasca perceraian merujuk pada hak-hak yang tetap harus dipenuhi oleh kedua orang tua setelah perceraian. Hak-hak ini bertujuan untuk menjaga kesejahteraan fisik, emosional, dan sosial anak meskipun orang tua mereka tidak lagi bersama. Berikut beberapa hak utama anak pasca perceraian:
Hak atas Kasih Sayang dari Kedua Orang Tua:
Anak berhak mendapatkan cinta, perhatian, dan dukungan emosional dari kedua orang tua, meskipun mereka tidak lagi tinggal bersama. Ini termasuk menjaga hubungan yang sehat dengan kedua belah pihak.
Hak atas Nafkah atau Dukungan Finansial: Anak berhak menerima dukungan finansial untuk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan. Biasanya, salah satu orang tua yang tidak memiliki hak asuh utama tetap berkewajiban memberikan tunjangan anak.
Hak atas Pendidikan dan Pengembangan:
Anak berhak mendapatkan akses pendidikan dan kesempatan untuk mengembangkan diri secara akademis, sosial, dan emosional, terlepas dari kondisi orang tua.
Hak atas Keamanan dan Kesejahteraan:
Anak harus dijaga dari lingkungan atau situasi yang berpotensi membahayakan kesejahteraan fisik dan emosional mereka, baik di rumah orang tua yang memiliki hak asuh maupun yang tidak.
Hak untuk Didengar:
Dalam beberapa sistem hukum, anak berhak menyuarakan pendapat mereka tentang pengaturan setelah perceraian, seperti dengan siapa mereka ingin tinggal atau bagaimana pembagian waktu antara kedua orang tua.
Hak untuk Tidak Terlibat dalam Konflik Orang Tua:
Anak berhak bebas dari konflik dan perselisihan antara kedua orang tua. Orang tua seharusnya tidak melibatkan anak dalam masalah pribadi mereka, termasuk menjadikan anak sebagai perantara komunikasi.
Hak atas Stabilitas dan Rutin:
Setelah perceraian, anak berhak atas lingkungan yang stabil dan rutinitas yang konsisten, termasuk jadwal kunjungan yang jelas dengan orang tua yang tidak memiliki hak asuh utama.
Hak atas Perlindungan dari Penyalahgunaan Hak Asuh:
Anak berhak dilindungi dari segala bentuk manipulasi atau pengabaian, seperti alienasi orang tua (parental alienation), di mana salah satu orang tua mencoba merusak hubungan anak dengan orang tua lainnya.
Lalu, Bagaimana Impian Anak sesungguhnya Terhadap Kedua Orang Tua?
Anak-anak biasanya memiliki impian dan harapan tertentu mengenai hubungan mereka dengan kedua orang tua, yang berakar dari kebutuhan akan cinta, keamanan, dan dukungan. Berikut adalah beberapa impian yang sering dimiliki anak terhadap kedua orang tua mereka:
Keharmonisan dan Keterlibatan Orang Tua:
Anak-anak sering bermimpi agar orang tua mereka bisa akur dan harmonis, bahkan setelah perceraian. Mereka berharap kedua orang tua tetap terlibat dalam kehidupan mereka, memberikan cinta dan perhatian yang seimbang tanpa adanya konflik.
Orang Tua yang Mendukung dan Memahami:
Anak-anak menginginkan orang tua yang mendukung impian dan minat mereka, serta memahami kebutuhan mereka baik secara fisik maupun emosional. Mereka berharap orang tua bisa memberikan bimbingan tanpa menghakimi, dan selalu hadir untuk mendengarkan keluh kesah mereka.
Keadilan dalam Pengasuhan:
Anak-anak berharap agar kedua orang tua bersikap adil dalam membagi waktu pengasuhan dan tidak menunjukkan pilih kasih. Mereka menginginkan waktu yang berkualitas dengan masing-masing orang tua dan merasa dihargai oleh keduanya.
Stabilitas dan Keamanan:
Anak-anak menginginkan lingkungan yang stabil, di mana mereka merasa aman baik secara fisik maupun emosional. Impian ini sering melibatkan harapan bahwa kedua orang tua dapat menyediakan rumah yang nyaman dan menghindari pertengkaran di depan mereka.
Cinta yang Tidak Bersyarat:
Anak-anak berharap mendapatkan cinta yang tidak bersyarat dari kedua orang tua mereka, tanpa memandang kondisi atau situasi keluarga. Mereka ingin merasa diterima dan dicintai apa adanya, tanpa tekanan atau harapan yang berlebihan.
Orang Tua yang Berkomunikasi Baik:
Anak-anak juga bermimpi bahwa orang tua mereka dapat berkomunikasi dengan baik, bahkan jika mereka sudah tidak bersama. Mereka berharap kedua orang tua bisa berbicara dengan baik satu sama lain untuk kepentingan mereka, tanpa melibatkan mereka dalam konflik.
Kebebasan untuk Mencintai Kedua Orang Tua:
Anak-anak berharap mereka dapat mencintai dan dekat dengan kedua orang tua tanpa merasa harus memilih di antara keduanya. Mereka ingin hubungan yang baik dengan kedua orang tua tanpa ada rasa bersalah atau tekanan dari salah satu pihak.
Data dari Pengadilan Agama terkait orang tua tunggal dari tahun 2019 hingga 2022 menunjukkan bahwa terdapat 1.852 kasus di Pengadilan Agama Parepare, 3.364 kasus di Pengadilan Agama Sidrap, 1.525 kasus di Pengadilan Agama Bantaeng, dan 4.560 kasus di Pengadilan Agama Sungguminasa. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi angka perceraian, semakin besar potensi seorang mantan istri menjadi orang tua tunggal, semakin tinggi pula risiko anak-anak menjadi terabaikan, hak-hak mereka tidak terjamin, serta tidak adanya perhatian dan kasih sayang penuh dari mantan suami. Selain itu, mantan suami sering kali mengabaikan kewajiban untuk menegakkan hukum terkait hak-hak anak. Mantan istri sering kali dieksploitasi sebagai orang tua tunggal, sementara mantan suami tidak berperan aktif dalam menjamin hak-hak anak. Mantan istri lebih dominan dalam melindungi hak-hak anak, memberikan kasih sayang sepenuhnya agar anak-anak tidak mengalami frustrasi dan guncangan mental.
Pendapat hakim
mantan suami dan mantan istri memiliki tanggung jawab yang sama dalam memenuhi kebutuhan anak-anak setelah perceraian. Banyak faktor yang dipertimbangkan oleh hakim, seperti faktor kesehatan, pendidikan anak, perhatian, dan kasih sayang. Hakim tentu memperhitungkan beban yang diemban oleh mantan suami dan mantan istri untuk secara bersama-sama bertanggung jawab atas hak-hak anak agar mereka dapat hidup lebih sejahtera. Namun, jika eksekusi hak-hak anak sangat kecil, hal tersebut memerlukan pembayaran eksekusi yang lebih besar dan sangat rumit, meskipun sudah diminta berulang kali (Mun’amah, 2022).
Dalam hukum keluarga Islam, mediasi sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang adil antara orang tua, dengan mengutamakan kesejahteraan anak melalui maslahah dan maqasid al-shariah. Mediasi memastikan hak-hak anak, seperti nafkah dan hak asuh, sesuai dengan ajaran agama. Dalam hukum nasional, mediasi diakui sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang damai di bawah UU No. 30 Tahun 1999, menjadikan proses lebih menyeluruh dengan menggabungkan kedua kerangka hukum untuk melindungi hak-hak anak.
Keterlibatan bersama dalam menjalankan peran dan fungsi kedua orang tua demi kepentingan terbaik anak, seperti mengendalikan, membimbing perilaku, etika, tata krama, dan aturan norma yang berlaku, serta menjaga disiplin anak, pemberian penghargaan dan hukuman adalah bentuk penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dengan menghilangkan eksploitasi orang tua tunggal. Penegakan hukum dalam sistem ini menghilangkan eksploitasi peran mantan istri sebagai orang tua tunggal, yang mengarah pada keadilan sehingga anak-anak tidak mengalami penyimpangan perilaku buruk, depresi, dan kecemasan berlebihan.
Pelaksanaan keadilan bagi orang tua setelah perceraian adalah dengan menjadi mitra dalam memenuhi hak-hak anak, selain juga menghilangkan eksploitasi peran mantan istri sebagai orang tua tunggal. Penegakan hukum dan keadilan setelah perceraian berarti kedua orang tua tetap terlibat dalam membimbing dan melindungi hak-hak anak, memberikan kebebasan kreatif yang positif sehingga anak-anak dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih berkualitas. Keterlibatan bersama antara kedua orang tua dan anak juga dapat memperkuat hubungan emosional, sehingga anak-anak tidak terabaikan dan tidak lagi menjadi korban kekerasan.
Kesimpulan;
Temuan kajian ini adalah hampir semua anak yang orang tuanya bercerai mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak-hak penuh dari ayah mereka. Hak-hak anak yang tercantum dalam putusan hakim sering kali hanya berfungsi sebagai pajangan, karena putusan tersebut tidak dapat memaksa mantan suami untuk memenuhi hak-hak anak. Pentingnya penegakan hukum dan keadilan gender terhadap hak-hak anak melalui keputusan hakim menuntut keterlibatan kedua orang tua untuk menghindari eksploitasi peran ibu tunggal dalam memperjuangkan hak-hak anak.
Rekomendasi;
Penelitian ini merekomendasikan agar dalam putusan hakim, ada sanksi yang lebih berat bagi orang tua yang lalai terhadap kewajibannya dalam memenuhi hak-hak anak. Selain itu, perlu diadakan penelitian lanjutan untuk menggali alasan mengapa mantan suami tidak mampu memenuhi hak-hak anak, sehingga solusi yang lebih komprehensif dapat dirancang untuk menjamin kesejahteraan anak-anak setelah perceraian. (Jhn/Alf)
Penulis : Dr. Fikri, S.Ag, M.Hi
Editor : Alfiansyah Anwar