Skip ke Konten

OPINI : Harbuknas dalam Upaya Meretas Cara Membaca

17 Mei 2020 oleh
Hayana

OPINI : Harbuknas dalam Upaya Meretas Cara Membaca

OPINI — “Buku adalah jendela dunia” kalimat ini sudah sering kita dengar, namun terkesan hanya menjadi sebuah pameo belaka, ketika semua orang asyik dengan hiruk pikuk dunia maya dengan segala pesona yang ditawarkan oleh gadget, sehingga jendela dunia yang terbentang luas melalui buku terabaikan.

Hari ini 18 tahun lalu, tepatnya 17 Mei 2002, merupakan pertama kalinya diperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang sebelumnya juga diperingati hari buku dunia setiap tanggal 23 April.

Momentum perayaan hari buku ini sangat kontradiktif dengan gebyar yang diantar dengan seremoni perayaan-perayaan lain semisal hari valentin (valentine’s day) yang diwarnai dengan bertukar kado dan gemerlap selebrasi yang didesain sedimikian rupa oleh kaula muda, di harbuknas, ini akan beranjak sepi.

Bertukar buku kesayangan, menghadiahkan buku pada sahabat dan terkasih, pameran dan big sale dengan buku discount besar, membagikan buku gratis, parade tantangan buku kesayangan di sosial media, dan beberapa momen yang mungkin potensi digandrungi oleh warganet nyaris tidak terekspos secara masif di media sosial.

Lantas bagaimana kabarnya pecinta buku di belahan dunia lain? Mencoba menelisik negara 1000 danau Finlandia, negara yang tidak pernah bergeser dari indeks peringkat atas negara paling literat (terpelajar) dalam bidang literasi di seluruh dunia.

Ini menurut riset yang dilakukan oleh Jhon W. Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain, dan yang secara resmi dirilis oleh The World’s Most Literate Nations (WMLN) pada 2016 lalu.

Finlandia yang 70 persen daratannya adalah hutan dengan jumlah penduduk 5,5 juta oleh World Happines Report sebagai negara paling bahagia, terdata 68 juta buku perpustakaan terpinjam dalam setahun, di Finlandia semua hari adalah hari buku, bahkan untuk sekedar memberi surprise berupa paket parsel disitu terselip buku.

Masyarakatnya terbiasa dengan membaca meski tayangan televisi tidak akan kita temui sulih suara atau dubbing, mereka tetap menikmati tayangan dengan subtitel (teks terjemahan) sebagai metode yang diterapkan agar anak-anak di Finlandia cepat bisa membaca dan menerapkan membaca cepat (speed reading).

Subjektivitas dari ucapan “Selamat Hari Buku” sebagai bentuk apresiasi seakan menohok kesadaran kita pentingnya membaca buku di negeri ini, negara yang oleh AS, Indonesia dinobatkan sebagai negara maju, hal ini terlihat dalam perubahan dalam Undang-Undang Pemulihan Perdagangan (Trade Remedy Law). Dan salah satu karekter negara maju adalah budaya membaca buku dari sebuah negara.

Hari buku nasional yang diprakarsai oleh momentum berdirinya perpustakaan nasional Republik Indonesia Tahun 1980, mengutip Harian Kompas (20 Mei 2002) Menteri Pendidikan Abdul Malik Fajar menetapkan Hari Buku Nasional (Harbuknas) pada setiap 17 Mei, seharusnya mampu memberi spirit baru terhadap keterpurukan bangsa ini dalam hal budaya literasi.

Data-data tentang literasi berikut ini sering diulang untuk menunjukkan parahnya minat baca. Yang pertama, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015. Yang kedua, peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016, produk dari Central Connecticut State University (CCSU). Yang menempatkan Indonesia di peringkat terendah dan masih banyak data terbaru yang tidak jauh beda.

Pun di Harbuknas ini para penerbit meradang. Hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia di 100 perusahaan penerbitan buku menyebutkan, selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, sebanyak 58,2 persen penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50 persen.

Sedangkan 29,6 persen penerbit lainnya mengalami penurunan penjualan 31-50 persen, 8,2 persen penerbit mengalami penurunan 10-30 persen, dan hanya 4,1 persen penerbit yang penjualannya stabil seperti hari-hari biasa. (Kompas.com).

Apakah layak dikatakan bahwa budaya baca bermetamorfosis ke budaya digital, era disrupsi ini tidak cukup menjanjikan bertumbuhnya budaya membaca karena ruh sebuah bacaan adanya pada sebuah buku dengan konten yang sarat dengan hasil penelitian, minim radiasi cahaya elektro magnetik dan ekonomis.

Di masa lalu pun para tokoh pendiri bangsa indonesia (founding fathers) seharusnya dimaknai sebagai injeksi semangat yang menginspirasi generasi yang oleh Karl Mannhein disebut generasi milenial atau generasi Y.

Salah satunya Bung Hatta yang dikenal dengan kalimatnya, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”. Memotivasi diri untuk belajar yang identik dengan membaca buku adalah niscaya di tengah kearifan lokal masyarakat Indonesia yang beragam, walaupun kita menghadapi budaya disrupsi digital yang massif namun membaca buku atau monograf adalah sebuah keharusan.

Sebuah ungkapan menarik tentang sebuah buku:

“Buku menemani saat sadar dan tidur.

Kemanapun kita pergi dia bersedia mengikuti.

Ia menasehati kita, ia dapat menjadikan kita tertawa.

Tak jarang kita menangis karena buku.

Jika kita memintanya diam dia akan patuh.

Jika kita mencercanya ia diam.

Jika kita memujinya ia tak sedikitpun akan terpengaruh.

Tidak ada teman yang lebih pandai.

Tidak ada teman yang lebih setia dari buku.

Buku adalah sebaik baiknya teman.” (*)


di dalam Opini
Hayana 17 Mei 2020
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip