Skip ke Konten

Idul Fitri: Memantik Pendidikan Holistik di Tengah Pandemi Covid-19

24 Mei 2020 oleh
Hayana

Idul Fitri: Memantik Pendidikan Holistik di Tengah Pandemi Covid-19

oleh: Abdul Halik, Dosen IAIN Parepare

OPINI — Waktu adalah persepsi psikologi yang di dalamnya ada peristiwa, tempat, dan kondisi (kata orang bijak). Begitu cepat pergi dan berlalu Ramadhan, ditutup dengan ‘serimoni’ perpisahan, shalat ‘Idul Fitri. Gegap gempita perayaan kemenangan bagi umat Islam atas capaian dalam universitas Ramadhan. Kerinduan dan kenangan mendalam yang dititipkan Ramadhan, menggugah penantian panjang dalam pendakian maqam spiritual. Kini berlalu dan tidak kembali lagi, “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (QS. Al-Mu’minun: 114).

Jiwa seperti cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya. Keindahan kita tidak terasa, karena kita berada di bawah debu (Rumi). Kami hadir dalam ‘denyut nadi’ silaturahmi, mengharap iba pintu maaf dibuka, minal aidzin wal faidzin. Semoga ke-fitrah-an kita menjadi mahkota dalam jubah kemenangan pada momentul Idul Fitri di tengah Pandemi Covid-19.

Gema Idul Fitri

Sebulan penuh menjalankan ibadah puasa dengan penuh khidmat, khusuk, dan jihad. Meskipun nuansa dan suasana Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan sebelumnya, tetapi dedikasi dan motivasi ibadah justru lebih menggeliat. Gema Ramadhan kali ini lebih ‘menonjol’ pada ranah sosial dan virtual, karena dalam kepungan Pandemi Covid-19, himpitan ekonomi menjerat sebagian besar masyarakat, mendorong bagi dermawan menyumbangkan hartanya kepada kaum dhuafa dan terkena dampak Pandemi Covid-19.

Semarak gerakan kemanusiaan menghiasi jagad maya, melalui penggalangan dan penyaluran bantuan kemanusiaan, dan para Satgas Covid-19 di berbagai level ikut mengatur dan melayani ketertiban sosial pada penerapan PSBB, dan teristimewa pahlawan kemanusiaan, Dokter dan Paramedis, garda terdepan ‘berperang’ menghadapi Pandemi Covid-19.

Syiar dakwah di bulan Ramadhan tahun ini tak kalah semaraknya dengan tahun sebelumnya. Syiar Islam melalui dunia maya, dakwah virtual cukup intens menghiasi dalam sosial media, media cetak, media elektronik, dan teleconference. Menghadirkan pembicara hebat dan mumpuni dalam syiar Islam, sangat membantu dalam menghadirkan Islam sebagai agama transpormatif dan solutif. Umat Islam sudah akrab berinteraksi secara virtual oleh para cendekiawan muslim, baik nasional maupun internasional, yang selama ini cukup ‘birokratis’ untuk berinteraksi.

Syiar virtual memiliki kelebihan dalam gema dakwah Ramadhan, karena di samping monologis juga bersifat dialogis (Nurhidayat, sudutpandang.com, 6 Mei 2020). Namun, syiar virtual terbatas aksesibilitasnya, hanya ditujukan bagi orang ‘pilihan’, yakni kalangan yang berlebih quota internet, terakses signal, dan yang melek teknologi. Syiar virtual dinilai menjadi trend dakwah Islam di masa depan pasca Ccovid-19.

Kondisi stay at home di masa pandemiumat Islam menjalankan ibadah dan ritual Ramadhan di rumah bersama keluarga. Pemimpin keluarga mengambil alih tanggungjawab ibadah berjamaah yang sebelumnya dilakukan di Masjid. Hadis Nabi Saw. … كلكم راء وكل راء مسئول عن رعيتهSeorang pemimpin keluarga, harus berani tampil menjadi imam, menjadi panutan dan teladan, disiplin, dan menguasai kaifiyat ibadah berdasarkan doktrin Islam. Hikmah pandemi di bulan Ramadhan, memperkokoh kepemimpinan kepala keluarga dengan kepedulian tinggi atas komitmen terhadap pesan Allah, dalam Q.S. At-Tahrim: 6; …يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا, Sebuah kewajiban normatif kepala keluarga agar selalu jaga diri dan anggota keluarganya dari perihal yang menjerumuskan ke dalam ‘kubangan’ kenistaan.

Peneguhan akidah, penguatan ilmu, kesadaran ibadah, dan kemuliaan akhlak, menjadi syiar Islam utama dalam mengokohkan konstruk rumah tangga Islami (Amri & Tulab, Ulul Albab, 2018). Pandemic Covid-19 di bulan Ramadhan memperkuat visi kesalehan personal sebagai syarat keteguhan kesalehan sosial, dalam Q.S. Az-Zzariyat: 56; وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Eksistensi personal menjadi fondamen pancaran cahaya ke-Ilahi-an dalam meredupkan ‘kebisingan’ mudharat di lingkungan keluarga. Ikhtiar dan jihad personal sebagai manifestasi keteguhan spiritualitas dalam mengemban misi rahmatan lil ‘alamin.

Pelaksanaan shalat Idul Fitri yang sebagian besar umat Islam dilaksanakan di rumah memberikan nuansa dan suasana tersendiri. Gema takbir tidak lagi berkumandang di jalanan, tetapi mengisi relung dan menghiasi ruang serta merebak keluar melalui ventilasi rumah.  Silaturahmi dan ziarah solidaritas antar sesama dilakukan melalui kanal-kanal media sosial. Kuliner dan makanan khas lebaran, tetap disajikan menambah pernak-pernik kemeriahan perayaan Idul Fitri. Semangat sosial umat Islam merayakan Idul Fitri sangat tinggi, tiada yang bisa meredamnya, kecuali pandemi Covid-19. Meskipun kontraversi, Covid-19 menjadi pendulung perdebatan terutama di media sosial, antara kepatuhan kepada umara’ dan keteguhan iman kepada Allah.

Gejolak tersebut dinilai manusiawi, boleh jadi kejenuhan stay at home, masjid ditutup, terancam kebulan asap dapur, semangat Idul Fitri yang hanya sekali dalam setahun, terbukanya pusat perbelanjaan, dan seterusnya. Semua itu refleksi dari gelora iman yang ‘membara’ dalam jiwa umat Islam untuk merayakan Idul Fitri, yang sebelumnya menggema di seantero dunia. Hidup boleh berubah, Covid-19 bisa memaksa social distancing, tapi ‘Api’ Islam terutama gema Idul Fitri tidak akan pernah padam dalam sadr (dada) umat Islam.

Pesan Idul Fitri di balik Pandemi Covid-19

Bumi mengalami recovery (restart button)karena pandemic Covid-19. Menurut laporan ilmuwan, dampak bagi bumi, di antaranya adalah: (1) Kualitas udara semakin baik karena menurunnya tingkat global Nitrogen Dioksida (NO2), yakni gas yang dihasilkan dari mesin mobil dan pabrik manufaktur komersil; (2) emisi berkurang yakni Carbon Dioksida (CO2) menurun drastis; (3) Satwa liar semakin berkembang oleh berkurangnya hilir mudik manusia; (4) Air menjadi jernih juga sangat baik bagi kesehatan (suara.com, 22 Mei 2020).

Selanjutnya, lapisan Ozon menjadi membaik karena berhentinya aktivitas emisi besar karena lockdown, seperti pabrik, mesin, pesawat, kapal laut, dan seterusnya (Kompas.com, 22 April 2020). Dalam konteks Geologi, bumi dinilai ikut serta merayakan ‘Idul Fitri’, karena kembali ke arah normal dan equilibrium dalam ekosistemnya. Bumi memulai dari stabilitas ekologi sehingga lebih nyaman dan aman dihuni oleh umat manusia.

Alam memberi pelajaran berharga pada siklus metamorphosis binatang, seperti Kupu-kupu. Kupu-kupu berasal dari ulat yang mengalami metamorphosis sempurna atau tahap berbeda sebelum jadi dewasa. Umur kupu-kupu berkisar antara 3-4 minggu. Prosesnya adalah: (1) telur menempel pada daun inang lamanya 2-7 hari, (2) ulat (larva) berumur 14-20 hari dengan berganti kulit 4-5 kali, pada umur itu mengkonsumsi daun setara luasan 20 x 30 cm. (3) kepompong (chrysalis/pupa) berpuasa dan beristirahat selama 14-16 hari, butuh waktu 1-2 jam untuk mengeringan sayap sebelum siang terbang untuk pertama kalinya. (4) kupu-kupu dewasa (imago) berumur 14-24 hari, dimana sekitar 7% hidup imago digunakan untuk kopulasi (Kompasiana.com, 18 Juni 2018). Kupu-kupu berawal dari ulat yang menyeramkan, menjijikkan, gatal jika disentuh, membuat mati tanaman. Melalui metamorphosis, ulat berubah jadi binatang yang indah dipandang, dan memesona motif dan cantik kibaran sayapnya. Ulat seakan mengikuti proses Ramadhan dan melahirkan bentuk baru yang indah dan mengesankan, sebuah ekspektasi dalam perayaan Idul Fitri.

Dua analogi di atas menunjukkan keistimewaan Ramadhan dalam menebar pendidikan spiritualisme humanis kehidupan. Bumi yang begitu rusak oleh ‘kepongahan’ manusia, kembali ke ‘Fitrah’ atas peringatan Allah melalui Covid-19. Ulat yang begitu seram berubah jadi makhluk indah dan memanjakan pandangan, atas ‘petualangan’ hidup menuju ‘fitrah’. Hidup adalah misteri dalam dimensi insaniyah, jika tidak memantik nalar logis dan iman untuk menyelaminya. Alam begitu ‘paham’ dan patuh pada dimensi ke-ilahi-an dalam mencerdaskan ekologi untuk harmonisasi kehidupan. Idul Fitri dalam dimensi ekologi menularkan pola hidup sehat, stabil, teratur, dan seimbang.

Udara yang sehat, air mengalir yang jernih, sinar matahari yang kurang menyengat, bumi bermeditasi, burung berkicau, satwa yang riang, tanaman dan bunga bermekar, sungguh indah padanan ekologi dalam nuansa Idul Fitri di tengah pandemic Covid-19. Alam semesta sebagai sunnatullah menitahkan nalar untuk belajar dari sirkulasi hidup, pergantian siang dan malam, agar kearifan macrocosmos dapat dipetik hikmahnya.

Umat Islam yang menjalankan ibadah puasa disertai ritual pendukungnya, memancarkan berkahnya ‘Idul Fitri, sebuah transformasi hidup menuju era baru (new era)yang bersih nan suci, bagaikan bayi kecil yang baru dilahirkan. Sungguh! dalam diri manusia ada potensi ‘laten’ yang harus dirawat dan dijaga, jika dibiarkan daya rusaknya sangat tinggi, yakni hawa nafsu. Nabi Saw. Sudah mewanti-wanti agar dapat menjaga, mengontrol, dan mengendalikan hawa nafsu, untuk menjaga stabilitas diri dalam meraup investasi besar di bulan Ramadhan. Realisasi capaian Idul Fitri, dibangun atas dasar ketulusan, pengorbanan, komitmen, ikhtiar, dan jihad untuk ridha-Nya (مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ). Sikap istiqamah umat Islam menjadi suatu ujian sistemik agar tetap waspada dan mawas diri dari berbagai jebakan dan godaan. Idul Fitri sebagai teologi pembebasan dari perbudakan dan berhala profan.

Pendidikan Holistik ‘Idul Fitri dan Pandemi Covid-19.

Holistik sebagai suatu hal yang menyeluruh, bukan parsial. Pengertian ini sejalan dengan esensi pendidikan yang melihat sesuatu sebagai suatu universal. Pendidikan holistik bermakna perubahan individu secara keseluruhan ke arah positif melalui intervensi pendidikan. Melalui pendidikan holistik, peserta didik didorong untuk menemukan jati dirinya (learning to be), dengan menunjukkan kemampuan dirinya (self actualization), melakukan eksplorasi sendiri, dalam suasana independensi, dan bersikap inklusif untuk kemajuan (Lihat Amie Primarni, 2014). Perubahan individu diawali oleh sebuah kesadaran intelektual, emosional, spiritual, adversity, dan vokasional dalam menemukan kebermaknaan hidup (Halik, 2020).

Allah memberi code bahwa seluruh ciptaan-Nya terdapat hikmah yang dapat membuka tabir makrifah-Nya. Tidak ada dalam hidup yang diciptakan dengan sia-sia (رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا……) menjelaskan pendidikan holistik membuka mata memandang khazanah keilmuan sebagai tanda dan isyarat kebesaran Allah Swt. Jika potensi fitrah yang dimiliki manusia tidak dioptimalkan untuk memahami dan menjadikannya bersyukur, akan menjadikannya terperosok masuk dalam jurang kenistaan (…سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ). Diskursus tersebut, menegaskan pendidikan holistik mencitrakan khazanah akan pesan nuansa Idul Fitri dalam suasana Pandemi Covid-19.

Nuansa Idul Fitri berbeda dengan sebelumnya, sebuah realitas obyektif bahwa hidup mengalami transformasi yang tak terdeteksi dan terkendali. Idul Fitri sebagai ‘metabolisme’ Ramadhan, sebagai indikator kualitas olahan ‘nutrisi’ iman yang merefleksikan dalam bentuk kecerdasan. Kecerdasan yang dilahirkan dalam universitas Ramadhan, menjadikan pecinta ritual puasa dalam golongan cendekiawan (أُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰب). Cendekiawan ini berindikasikan kepada holistika fitrahnya untuk memahami dan menghayati code ciptaan dan eksistensi diri-Nya (ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ). Pesan Idul Fitri mengembangkan kapasiti pikir dan dzikir secara seimbang dan dialog secara berkelanjutan sehingga dapat bersikap arif dan bijak secara dialektis dan dinamis dalam merespon kehidupan, termasuk Pandemi Covid-19. Ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu lumpuh (A. Einstein).

Ramadhan telah menebarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan, walau dalam kondisi pandemi Covid-19. Nuansa Idul Fitri dan suasana pandemi Covid-19 ibarat sebuah literasi holistik dengan referensi yang beragam dan mendalam, menjadi pelajaran berharga buat umat Islam. Jika dianalogikan sebagai sebuah buku, maka tujuan sebuah buku mungkin sebagai petunjuk. Namun kau dapat juga menggunakannya sebagai bantal; Kendati sasarannya adalah memberi pengetahuan, petunjuk, dan keuntungan (Rumi).

Idul Fitri menerangi jiwa agar lebih hidup dan dinamis, peka terhadap signal ke-Ilahi-an sehingga selalu terjaga untuk membaca pesan-pesan transendental. Pandemi Covid-19 memaksa nalar dan sains untuk mengaji lebih intens, menata ekosistem, menertibkan social order, menjaga equilibrium, restorasi paradigm, dan rekonstruksi tauhid. Nuansa ‘Idul Fitri memberi kesan penguatan dimensi dzikir (vertical), dan suasana Pandemi Covid-19 membuka nalar pada dimensi piker (horizontal). Integrasi dzikir dan pikir sebagai pilar prototype Ulil Albab, sebagai ekspektasi generasi cendekia dengan predikat Summa Cumlaude dari Universitas Ramadhan. Pendidikan holistik yang lahir dari ‘rahim’ Idul Fitri di tengah Pandemi Covid-19, berimplikasi pada terwujudnya generasi Ulil Albab, pewaris Nabi, pemegang tonggak komando demi tegaknya baldatun tayyibatun wa rabbun ghafurWallahu ‘A’lam bi Ash-Shawab.

تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَمَنَا وَ صِيَمَكُمْ كُلُّ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ

تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَمَنَا وَ صِيَمَكُمْ وَجْعَلْنَا مِنَ الْعَائِدِين وَالْفَائِزِين


di dalam Opini
Hayana 24 Mei 2020
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip