By. BUDIMAN, S.H.,M.H.I (Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
“Kalimat Hasbalah”, حسبنا ﷲ ونعم الوكيل ini kelihatannya dzikir sederhana, namun sarat makna yang luar biasa. Dzikir menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai tempat bersandar. Dzikir, wirid dan doa memang memiliki energi yg dipancarkan Allah dlm bentuk nur (cahaya). Nur Allah itu merupakan energi mutlak yg mengalahkan semua energi lainnya. Sifat energi yg bersumber dari Nur Allah itu bermacam-macam. Ada yg halus, lembut, keras, kasar, lentur, panas, dingin dan lainnya.
Dzikrullah adalah cara terbaik utk memulihkan kekuatan kita, mengakses sumber daya tanpa batas yang ada di sisi Allah, asalkan dzikir dilakukan dengan ikhlas dan pasrah sepenuh-penuhnya kepada Allah. Sudah lupa dan tidak perduli lagi apakah doanya dikabulkan karena telah larut dalam kenikmatan dzikrullah. Saat seperti itu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam memasuki “zona hawqalah”, wilayah kepasrahan total-mutlak kpd Allah:
لا حول ولا قوۃ الا بالله
Itulah sebabnya mengapa Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam tidak terbakar dlm kobaran api. Api yg sangat besar pun menjadi tunduk pada perintah Allah, sehingga berubah menjadi dingin demi keselamatan Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam (QS. Al-Anbiyaa [21]:69):
قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِی بَرْدًا وَسَلٰمًا عَلٰی اِبْرٰهِيْمَ
Anregurutta Ibnu ‘Abbas mentadabburi ayat ini dengan sebuah pernyataan menarik:
لَوْ لَمْ يَقُلْ سَلٰمًا لَمَاتَ اِبْرٰهِيْمُ مِنْ بَرْدِ النَّارِ وَبَقِيَتْ ذَات بَرْدٍ أَبَدًا
“BennengE dee’ nakkeda puangE “salaaman” (mappassalaama’), maatei Nabi Ibrahim nataro cekke’ ri lalenna api mallumpa-lumpaE nennia macekke’ mattaruui apiE naraapii makkokkuaE”. (Andaikata Allah tdk berfirman “salaaman”, Nabi Ibrahim akan mati kedinginan dalam kobaran api dan api itu akan dingin permanen sampai detik ini).
Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam masyhur dengan kerendahan hatinya. Hal ini terekam dalam ayat 127 QS. al-Baqarah:
واذ يرفع ابرٰهيم القواعد من البيت واسمٰعيل ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم
Ayat ini mengintrodusir ketawadhu’an, rasa takut/khawf dan harap/rajaa’ Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam bersatu dengan seimbang.
Membangun Baitullah adalah ibadah yg agung. Namun Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam tetap berdoa agar Allah menerima ibadahnya karena yg terpenting dari suatu amal adalah ketika amal itu diterima. Setinggi apapun derajat kita, niscaya kita selalu membutuhkan Allah agar Dia menerima amal ibadah kita.
Renungkanlah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam saja yg khaliilurrahmaan masih berdoa kepada Allah agar amalnya diterima. Doa ini dapat memberangus sikap ‘ujub dan takabbur dlm jiwa, sebab suatu amal tidaklah dilakukan dan suatu kejadian menimpa diri kita melainkan atas kehendak Allah. Karenanya amat disayangkan jika masih terdengar ucapan, misalnya: “iyya’ makkareeso, iyya’ majjaama atau iyya’ manrasa-raasa” (Aku yang berkarya, aku yg bekerja, atau aku yang pontang-panting).
Ucapan ini dan semacamnya adalah ucapan Qarun di abad modern yg sejatinya substansinya sama yaitu sikap angkuh dan takabbur yg menafikan Allah dan menyepelekan andil orang lain.
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam menunjukkan bahwa beliau memiliki kecerdasan akal yang tinggi. Tetapi dia tidak hanya mengandalkan kecerdasan akal saja dalam mencari dan memperjuangkan ajaran tauhid. Di samping akal, beliau memiliki kecerdasan hati yang suci, tanpa noda dan kekeruhan di dalamnya.
اذ جاء ربه بقلب سليم
Kita mesti berupaya untuk mengasah kecerdasan akal dan hati secara integral dan seimbang. Untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak bisa hanya semata-mata menggunakan akal, apalagi IQ. Akal memang mesti didayagunakan, sebab agama hanyalah untuk orang yang berakal. Tetapi akal yang dimaksud adalah akal yang tidak bertentangan dengan hati nurani.
Sebab acapkali kita jumpai orang yang mengedepankan rasionalitasnya dan mengabaikan bahkan membohongi hati nuraninya. Mereka mengakal-akali suatu kesalahan agar diterima sebagai suatu kebenaran dengan maksud dan tujuan tertentu untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Ibadah haji sarat dengan simbol. Seseorang baru bisa mengecap manisnya haji mabrur, jika ia mampu menerapkan dalam kehidupan bermasyarakat makna simbol dalam ibadah haji itu. Wuquf di Arafah, misalnya, yang menjadi inti dan puncak syariat haji adalah simbol pengenalan terhadap jati diri manusia yang kerap terabaikan. Arafah yang berakar dari kata عرف (kenal) salah satu maknanya adalah “padang pengenalan”.
Wuquf di Arafah adalah momentum mengenali jati diri sebagai manusia. Jati diri manusia bukan dilihat dari wujud lahiriahnya. Karena itu di Arafah seluruh simbol pembungkus lahiriah ditanggalkan dan diganti dalam bentuknya yang paling sederhana, pakaian ihram. Kain putih tak berjahit, yang bermakna tanpa status, tanpa atribut, simbol pakaian terakhir yang dikenakan ketika manusia meninggal dunia.
Kunjungan ziarah ruhani manusia ke tanah suci seolah simulasi kematian dan gladi bersih manusia memasuki alam akhirat. Orang yang berziarah ke dua tanah suci hakikatnya sedang berziarah ke alam akhirat. Yang menempel di dirinya hanya dua helai kain putih sebagai simbol kematian, kain kafan.
Tidak boleh memakai wangi-wangian, tidak boleh menggunting kuku, tidak boleh ini dan itu, karena hakikatnya ia sedang mati, dan sebagaimana layaknya orang mati, tidak dapat bergerak, tidak dapat memotong kuku dan lainnya. Pendeknya, ibadah haji dan juga kurban merupakan ajakan kepada seluruh manusia untuk “mati sebelum mati” atau “mati dalam hidup”.