Humas IAIN Parepare- Pasangan suami istri, Musyarif dan Ahdar membawakan orasi Ilmiah pada pembukaan Kuliah Semester Gasal tahun akademik 2023/2024 di gedung auditorium, Senin (04/09/23).
Dr. Musyarif, M.Ag. sebagai dosen Sejarah Peradaban Islam mengawali orasinya dengan menyampaikan pentingnya sejarah.
“Tidak semua peristiwa itu disebut sebagai sejarah, tapi bagi saya, hari ini akan menjadi sejarah karena hari ini akan menjadi catatan pribadi dan akan menjadi catatan bagi institusi kita dan itu adalah suatu yang penting,”paparnya.
Dr. Musyarif, M.Ag menyampaikan orasi berjudul “Nilai Pappaseng; Cermin Karakter Masyarakat Bugis”. Menurutnya, pembentukan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa di dalam diri peserta didik semakin terpinggirkan sehingga dalam menghadapi mahasiswa baru perlu disosialisakan nilai pappaseng untuk dijadikan cermin karakter. Pada kesempatan tersebut, ia juga menjelaskan pentingnya sejarah dan budaya untuk dijadikan ilmu.
“Ilmu keislaman itu, bukan hanya bersumber dari normativitas, bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai dasar normatif dalam melakukan pengkajian ilmu, tapi lebih dari pada itu sumber ilmu yang kita pakai dalam agama Islam itu ada yang disebut dengan aspek historisitas. Historisitas adalah bahwa rumpun keilmuan, bukan hanya bahwa kita belajar dari Al-Qur’an, bukan hanya kita belajar dari hadis, tapi juga ilmu itu dapat kita temukan dari yang terjadi dalam sejarah,”ucapnya kepada seluruh mahasiswa yang hadir di pembukaan kuliah.
Ia menerangkan tentang teori Hierarki of need yang menyatakan bahwa ternyata manusia itu memiliki beberapa kebutuhan, kebutuhan dasar, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk dicintai atau disayangi, kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan dihargai dan aktualisasi diri inilah yang menurut Musyarif menjadi dasar budaya lokal itu masih eksis sampai hari ini. Ternyata memang manusia itu memiliki kebutuhan untuk dihargai dan manusia butuh aktualisasi diri karena untuk mengaktualkan dirinya sebagai manusia yangdihargai.
“Orang bugis mengatakan hormati orang jika ingin di hormati, hargai orang jika ingin dihargai. Makanya, di Bugis itu, kalau lewat di depan orang banyak, orang akan membungkukkan badan sambil menelungkupkan tangannya mengatakan tabe’. Bukan berarti orang tersebut merendahkan dirinya, tetapi sesungguhnya itu adalah bentuk aktualisasi diri bahwa kita semua sama,” jelasnya.
Selanjutnya, Dr. musyarif, M.Ag menyampaikan pentingnya budaya lokal dalam pembentukan karakter, nilai sebuah pappaseng untuk anak didik, dan pappaseng mengandung kode etis dan men moral yang dapat dijadikan sebagai sistem budaya dalam masyarakat Bugis.
“Contoh pappaseng yang bisa dijadikan pagar ada
tiga yaitu takut kepada allah, masiriki ri’aleta, dan yang ketiga masiriki
ri’pada tau, bukan ri’padatta rupa tau, tapi ri’padatta tau,”jelasnya. (Aen/Tin)