Penulis: Dirga Achmad, S.H.M.H.
(Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
OPINI--- Diskursus penundaan pemilu sejak beberapa tahun terakhir seringkali menjadi perbincangan publik yang hangat, bahkan tidak jarang isu ini didengungkan dari kalangan elit dengan berbagai skenario yang tidak objektif dan rasional. Kemarin (02/03/2023) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. menerima gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dari Partai Prima untuk seluruhnya yang menganggap dirugikan dalam verifikasi administrasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu, majelis hakim PN Jakpus dalam diktum putusannya menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024 sejak putusan diucapkan. Artinya, pelaksanaan pemilu pada tahun 2024 ditunda dan harus mengulangi tahapan-tahapan pemilu dari awal termasuk verifikasi parpol calon peserta pemilu.
Tulisan ini mencoba memberikan analisis terhadap putusan PN Jakpus dan alasan penolakan penundaan pemilu sebagai bagian dari menjaga nilai dari demokrasi dan konstitusi Indonesia, Pertama, setiap jenis dan tingkatan kekuasaan kehakiman memiliki kompetensi masing-masing. Termasuk yurisdiksi Pengadilan Negeri, meskipun memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata ditingkat pertama, namun sama sekali tidak memiliki kompetensi secara spesialis memerintahkan/menghukum penyelenggara untuk menunda pemilu. Putusan PN Jakpus yang merupakan putusan Ultra Vires (luar kuasa) ini sangat disayangkan, bagaimana mungkin penyelenggaraan pemilu yang sifatnya nasional bisa ditunda pelaksanaannya hanya dengan putusan pengadilan tingkat pertama.
Kedua, gugatan yang diajukan Partai Prima merupakan gugatan perdata yaitu gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) biasa, bagaimana mungkin gugatan yang sifatnya hukum privat, sementara petitum dan putusannya mempengaruhi tata kelola pemilu (electoral governance) yang sifatnya hukum publik. Kalaupun hal tersebut merupakan murni perkara perdata, maka yang bersengkata hanya para pihak (Partai Prima dan KPU) tidak boleh putusan berlaku umum dan mengikat pihak-pihak lainnya (erga omnes). Oleh karena itu, jika terbukti bahwa KPU melakukan PMH, maka sepatutnya pemulihan hak-hak Partai Prima selaku pihak penggugat saja yang menjadi pertimbangan, bukan malah melipir ke tahapan pemilu yang berimplikasi pada pelaksanaan pemilu secara keseluruhan dan peserta pemilu lainnya.
Ketiga, upaya penundaan pelaksanaan pemilu 2024 sangat tidak sejalan dengan prinsip demokrasi konstitusional Indonesia, Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil dan pemimpinnya secara berkala, pemilu juga merupakan kudeta yang paling konstitusional. Amanat UUD NRI 1945 dalam Pasal 22 E, asas pemilu bukan hanya yang sering kita pahami dengan istilah Luberjurdil “Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil”, tetapi juga ada satu asas yang tidak begitu populer yaitu asas Periodik (setiap 5 tahun sekali). Artinya penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan dengan menjamin kepatuhan terhadap asas Luberjurdil tetapi juga harus dipastikan bahwa pemilu dilaksanakan secara berkala setiap 5 tahun sekali. Sehingga dapat disimpulkan, wacana atau bahkan putusan yang tidak memperhatikan asas tersebut adalah inkonstitusional.
Keempat, secara yuridis, pengaturan hukum pemilu sebagaimana diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan regulasi teknis lainnya tidak mengatur ketentuan tentang penundaan pemilu, yang dikenal dalam UU Pemilu hanya terdapat 2 (dua) istilah, yaitu : 1) Pemilu Lanjutan yaitu dalam hal terdapat suatu kondisi diluar kekuasaan (forcemajeure) maupun kondisi terpaksa (overmacht) yang menyebabkan sebagian tahapan tidak dapat dilaksanakan; 2) Pemilu Susulan yaitu dalam hal terdapat suatu gangguan dalam seluruh tahapan.
Dengan demikian, sekalipun sudah ada putusan pengadilan yang arahnya menunda pemilu, harus dinyatakan batal demi hukum (putusan yang sejak semula dijatuhkan dianggap tidak pernah ada) karena keputusan tersebut di luar kewenangannya. Tidak satu pun kekuasaan termasuk kekuasaan kehakiman yang dapat membantah ketentuan konstitusi sebagai landasan utama dalam bernegara. KPU dan penyelenggara pemilu lainnya tetap harus mengawal pemilu 2024 agar terlaksana sesuai tahapan dan program yang telah ditetapkan.