Skip ke Konten

OPINI: KDRT Bukan Delik Aduan

17 Oktober 2022 oleh
khaerunnisaihwan

OPINI: KDRT Bukan Delik Aduan

Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H (Dosen IAIN Parepare, Ketua DPC Forum Advokat dan Pengacara Republik Indonesia (FAPRI) Kota Parepare).

OPINI— Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan lagi isu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sudah terlalu banyak kasus yang bergulir ke meja persidangan. Beberapa aktivis dan lembaga perlindungan perempuan juga telah dibentuk oleh negara untuk membela dan memperjuangkan hak para korban. Ini menujukkan bahwa kesadaran masyarakat pada pencegahan KDRT semakin tinggi. Namun, yang sedikit perlu diluruskan dari KDRT ini, yaitu pemikiran yang selalu menempatkan korban KDRT adalah perempuan, padahal laki- laki (suami) juga bisa menjadi korban.
Seperti beberapa kasus perceraiaan yang pernah penulis tangani, ada beberapa pihak istri yang justru melakukan KDRT kepada suaminya. Hal tersebut terjadi dipicu oleh tekanan yang dirasakan istri atas perbuatan perselingkuhannya yang terus-menerus di permasalahkan oleh suaminya. Kekerasan yang dialami oleh kedua pihak ini, istri mendapat kekerasan psikologis dan suami mendapat kekerasan fisik, menjadi bukti bahwa korban KDRT tidak mengenal jenis kelamin. Baik suami maupun istri berpotensi menjadi korban di dalamnya.

KDRT merupakan konflik dalam rumah tangga dengan penggunaan kekerasan di dalamnya. Demikian, kurang lebih pemaknaan masyarakat kita terhadap KDRT. Terlihat bahwa KDRT tetap dimaknai sebagai konflik rumah tangga meski diberikan penekanan adanya unsur kekerasan di dalamnya.

Beberapa hari ini publik dihebohkan dengan kasus KDRT yang dialami oleh pedangdut Lesti Kejora oleh suaminya Rizky Billar, tentu saja membuat heboh sosial media. Pasalnya, pasangan yang baru satu tahun menikah ini kerap menunjukkan kemesraan di layar kaca. Maka dari itu, tak heran jika banyak netizen yang tercengang dengan adanya pemberitaan dugaan KDRT ini. Apalagi bentuk kekerasan yang dialami Lesti Kejora juga bisa dibilang cukup parah, dia sempat mendapatkan cekikan, dorongan, dan bantingan, yang dilakukan secara berulang.

Adanya perlakuan tak pantas yang diterima Lesti Kejora oleh suaminya ini, lantas membuat Lesti melaporkan suamiya tersebut ke pihak kepolisian. Namun, pada akhirnya laporan tersebut dicabut dan mereka bersepakat untuk berdamai. Keputusan Lesti Kejora mencabut laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya justru memancing banyak reaksi negatif publik. Banyak netizen di media sosial merasa geram dengan keputusan Lesti. Kekesalan netizen diungkapkan melalui kolom komentar pada unggahan terakhir Lesti di media sosial Instagram miliknya. Kasus KDRT yang menghebohkan seluruh Indonesia itu dinilai tidak memberikan pelajaran dan efek jera pada pelaku KDRT.

Kasus Lesti dan Rizky Bilar ini kemudian mengelitik penulis membuat tulisan ini, harapannya agar masyarakat bisa menjadikan kasus tersebut pembelajaran agar tindakan KDRT tidak terjadi di keluarga manapun. Realitas hari ini, KDRT dijadikan alasan perceraiaan bagi pasangan yang ingin mengajukan gugatan perceraian, baik itu cerai gugat maupun cerai talak.

Secara yuridis formal, KDRT ini telah diatur tersenidri dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pengertian korban dan siapa saja yang diduga korban juga sudah diuraikan di dalamnya. Pada pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa “Korban merupakan orang yang hadapi kekerasan serta atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”

Di pasal selanjutnya dijelaskan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga ialah suami, istri, anak, dan orang yang telah lama tinggal dalam satu atap. Jadi, setiap orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, entah itu suami, istri, anak bahkan pembantu sekalipun, jika ia mengalami kekerasan ataupun ancaman kekerasan dalam rumah tangga, ia termasuk korban KDRT.

Terdapat beberapa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai KDRT oleh UU Nomor 23 tahun 2004 ini, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Mengacu pada undang-undang ini, tidak semua tindak KDRT termasuk delik aduan. Beberapa tindak KDRT dapat dikategorikan sebagai delik biasa. KDRT yang merupakan delik aduan diatur dalam Pasal 51 hingga Pasal 53 UU Nomor 23 Tahun 2004. Jika merujuk pada ketentuan pasal-pasal tersebut, tindak pidana KDRT yang termasuk delik aduan meliputi, tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.

Selain ketiganya, tindak KDRT yang lain termasuk dalam delik biasa. Artinya, polisi tetap dapat dapat melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana KDRT yang terjadi walaupun tidak ada aduan dari korban atau laporan yang telah dibuat dicabut.
Jika melihat apa yang terjadi terhadap Lesti kekerasan fisik yang dilakukan oleh Rizky Billar telah menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, karena Lesti sempat dirawat beberapa hari di Rumah Sakit. Artinya secara hukum unsur pasal yang dikenakan adalah Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Jadi meskipun Lesti telah mencabut laporan masih ada kemungkinan kasus KDRT yang menjerat Rizky Billar bakal dilanjutkan oleh penyidik meski telah dilakukan restorative justice. Sebab, pasal 44 Ayat (1) yang dikenakan pada Billar merupakan delik biasa bukan delik aduan.

Jadi menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, KDRT bisa dikategorikan sebagai delik aduan atau delik biasa, indikator penilaiannya diukur dari dampak kekerasan yang ditimbulkan pada korban, ada yang tidak meninggalkan luka, meninggalkan luka, bahkan ada yang sampai mengakibatkan disabilitas (cacat fisik). Jadi Pasal 44 Ayat (1) merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Untuk delik biasa penuntutan dapat atau harus dilakukan ketika penegak hukum mengetahui adanya tindak pidana.

Pengetahuan tersebut bisa dikarenakan laporan masyarakat, pengaduan atau laporan korban, atau diketahui sendiri oleh penegak hukum. Sedangkan delik aduan, penuntutan hanya dapat dilakukan dalam hal ada pengaduan dari korban. sehingga delik biasa bisa tetap berjalan meskipun tidak adanya penuntutan dari pihak korban atau pelapor telah mencabut laporannya. 

Menurut penulis, sejatinya hukum pidana tidak mengenal perdamaian, apalagi jika perbuatan pidana yang dilakukan merupakan delik biasa. Alasannya Hukum Pidana adalah hukum publik sehingga penegakannya menjadi kewenangan negara dalam hal ini representasi negara, yaitu Lembaga Kepolisian. Pertanyaannya kemudian apakah pelaku tindak pidana mau berdamai dengan negara? Jadi sebenarnya tidak semua perbuatan pidana dapat diselesaikan melalaui penerapan Restorative Justice, karena hal tersebut nihil kepastian hukum dan berpotensi jadi ajang pemerasan dan penyalahguinaan kewenangan.

Jadi dalam Kasus KDRT Lesti, mencabut laporan tidak berarti proses hukum terhadap Rizky Billar berhenti. Proses hukum tetap harus jalan, nanti menjadi pertimbangan majelis hakim apakah mendapatkan keringanan hukuman atau sesuai dengan pasal sangkaan. Dengan mekanisme seperti itu diharapkan para pelaku KDRT bisa mendapatkan efek jera. Apalagi jika kita mengacu pada Pasal 5 Huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, salah satu syarat materil sebuah tindak pidana dapat diselesaikan secara damai yaitu tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat.

Jika melihat respon publik di seluruh beranda media sosial di negeri ini kasus KDRT Lesti Billar ini telah menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat.Pada akhirnya penulis berkseimpulan Pelaku KDRT mesti dihukum sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku, supaya memberi efek jera bagi pelaku dan menjadi pelajaran bagi masyarakat secara umum, sehingga harapan kita kejadian serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Semoga kasus KDRT yang menimpa Lesti dapat menjadi pelajaran berharga kepada seluruh lapisan masyarakat agar terhindar dari jerat tindak pidana KDRT. Karena bisa saja KDRT itu banyak terjadi disekitar kita, namun kita memilih diam. Padahal yang dialami oleh Lesti hanyalah sebagian kecil daripada korban KDRT yang ada di Indonesia.


di dalam Opini
khaerunnisaihwan 17 Oktober 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip