Penulis: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me
OPINI--- Pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi kini menimbulkan polemik baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasalnya OTT yang dilakukan KPK mendapat kecaman dari Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Muda Agung Handoko karena OTT terhadap Kepala Basarnas Tidak dikoordinasikan terlebih dahulu dengan TNI. Sehingga secara tidak langsung terjadi konflik kewenangan mengenai siapakah lembaga yang lebih berwenang menangani kasus korupsi di Basarnas.
Secara yuridis formal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer hal itu secara eksplisit di jelaskan dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2022 tentang KPK, jadi KPK itu berwenang memproses korupsi di instansi manapun, termasuk militer. Jadi sebenarnya apa yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan UU KPK, sehingga tidak perlu minta maaf, hal tersebut berpotensi merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Kesannya KPK sudah dalam posisi yang benar malah harus minta maaf, padahal apa yang dilakukan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum). Sebagaimana kita ketahui, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan. Seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Maka dari itu, seharusnya KPK menyadari pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri berbunyi "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang."
Sehingga ditetapkannya dua tersangka Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas bersama tiga masyarakat sipil adalah keputusan yang benar. Karena dalam kasus suap yang harus mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. Justru menjadi aneh jika KPK justru tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI, karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer.
Menurut penulis jika Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi merasa ada kekeliruan dalam proses penetapan tersangka dan penangkapan yang dilakukan oleh KPK ada prosedur hukum yang dapat di tempuh yakni Pra Peradilan. Tidak perlu melibatkan para petinggi TNI untuk mencari kesalahan yang dilakukan para penyidik KPK.
KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai undang-undang peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas. Dengan terkuaknya skandal korupsi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif telah menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer. Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan kerugian keuangan Negara.